Refleksi : Pendidikan Pancasila sebagai Dasar Negara
Fungsi pancasila sendiri ada dua,
yaitu: sebagai dasar negara dan sebagai ideologi nasional. Dan dalam dua fungsi
tersebut, masing-masing memiliki memiliki sub-fungsi. Supaya lebih jelas, bisa
kita perhatikan tabel di bawah.
Fungsi Pancasila sebagai Ideologi
Nasional terdapat dua cara atau sub-fungsi yaitu Norma Etika dan Norma Hukum.
Hubungan
Pancasila dengan Norma Hukum
Pancasila dalam ideologi tidak muncul
dengan sendirinya. Tetapi, ada prosesnya. Dalam konteks dirumuskan oleh Panitia
BPUPKI dan sesuai dengan kulturbudaya masyarakat Indonesia sendiri.
Kulturbudaya dihasilkan oleh perilaku masyarakat. Hukum sendiri sebagai aturan
saja di masyarakat.
[Dasar = Pondasi] rumah Indonesia
dibangun dengan Pancasila. Pondasi Pancasila adalah sila ke-5, bunyi tersebut
adalah praksisnya yaitu aturan. Hukum menjadi patokan atau pedoman di
masyarakat.hukum tidak boleh dibuat tanpa melihat Pancasila.
Ada Peraturan Perundang-undangan yang
tidak sesuai tetapi yang menentukan adalah Mahkamah Konstitusi.
Sejelek-jeleknya hukum, kita akan tetap kembali pada hukum. Kemudian saat
sekarang, Pancasila sudah dijadikan alat/senjata dengan pihak lain.
A. Menelusuri
Konsep Negara, Tujuan Negara dan Urgensi Dasar Negara
1.
Menelusuri
Konsep Negara
Menurut Diponolo (1975: 23-25) negara
adalah suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat yang dengan tata pemerintahan melaksanakan
tata tertib atas suatu umat di suatu daerah tertentu.
Sejalan dengan pengertian negara
tersebut, Diponolo menyimpulkan 3 (tiga) unsur yang menjadi syarat mutlak bagi
adanya negara yaitu:
a.
Unsur
tempat, atau daerah, wilayah atau territoir
b.
Unsur
manusia, atau umat (baca: masyarakat), rakyat atau bangsa
c.
Unsur
organisasi, atau tata kerjasama, atau tata pemerintahan.
Ketiga unsur tersebut lazim dinyatakan
sebagai unsur konstitutif. Selain unsur konstitutif ada juga unsur lain, yaitu
unsur deklaratif, dalam hal ini pengakuan dari negara lain.
Berbicara tentang negara dari
perspektif tata negara paling tidak dapat dilihat dari 2 (dua) pendekatan,
yaitu:
a.
Negara
dalam keadaan diam, yang fokus pengkajiannya terutama kepada bentuk dan
struktur organisasi negara
b.
Negara
dalam keadaan bergerak, yang fokus pengkajiannya terutama kepada mekanisme
penyelenggaraan lembaga-lembaga negara, baik di pusat maupun di daerah.
Pendekatan ini juga meliputi bentuk pemerintahan seperti apa yang dianggap
paling tepat untuk sebuah negara.
2. Menelusuri Konsep Tujuan Negara
Tujuan yang ingin dicapai oleh setiap
orang mungkin sama, yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan, tetapi cara yang
ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut berbeda-beda bahkan terkadang saling
bertentangan. Jalan yang ditempuh untuk mewujudkan tujuan tersebut kalau
disederhanakandapat digolongkan ke dalam 2 aliran, yaitu:
a.
Aliran
liberal individualis. Aliran ini berpendapat bahwa kesejahteraan dan
kebahagiaan harus dicapai dengan politik dan sistem ekonomi liberal melalui
persaingan bebas.
b.
Aliran
kolektivis atau sosialis. Aliran ini berpandangan bahwa kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia hanya dapat diwujudkan melalui politik dan sistem
ekonomiterpimpin/totaliter.
Pada umumnya, tujuan suatu negara termaktub
dalam Undang-Undang Dasar atau konstitusi negara tersebut. Sebagai perbandingan,
berikut ini adalah tujuan negara Amerika Serikat, Indonesia dan India.
Tujuan negara Republik Indonesia
apabila disederhanakan dapat dibagi 2 (dua), yaitu mewujudkan kesejahteraan
umum dan menjamin keamanan seluruh bangsa dan seluruh wilayah negara. Oleh
karena itu, pendekatan dalam mewujudkan tujuan negara tersebut dapat dilakukan
dengan 2 (dua) pendekatan yaitu:
a.
Pendekatan
kesejahteraan (prosperity approach)
b.
Pendekatan
keamanan (security approach)
3.
Menelusuri Konsep dan
Urgensi Dasar Negara
Secara etimologis, istilah dasar
negara maknanya identik dengan istilah grundnorm (norma dasar), rechtsidee
(cita hukum), staatsidee (cita negara), philosophische grondslag (dasar
filsafat negara). Banyaknya istilah Dasar Negara dalam kosa kata bahasa asing
menunjukkan bahwa dasar negara bersifat universal, dalam arti setiap negara
memiliki dasar negara.
Secara terminologis atau secara
istilah, dasar negara dapat diartikan sebagai landasan dan sumber dalam membentuk
dan menyelenggarakan negara. Dasar negara juga dapat diartikan sebagai sumber
dari segala sumber hukum negara. Secara teoretik, istilah dasar negara, mengacu
kepada pendapat Hans Kelsen, disebut a basic norm atau Grundnorm (Kelsen, 1970:
8). Norma dasar ini merupakan norma tertinggi yang mendasari kesatuan-kesatuan
sistem norma dalam masyarakat yang teratur termasuk di dalamnya negara yang sifatnya
tidak berubah (Attamimi dalam Oesman dan Alfian, 1993: 74). Dengan demikian,
kedudukan dasar negara berbeda dengan kedudukan peraturan perundang-undangan
karena dasar negara merupakan sumber dari peraturan perundang-undangan.
Implikasi dari kedudukan dasar negara ini, maka dasar negara bersifat permanen
sementara peraturan perundang-undangan bersifat fleksibel dalam arti dapat
diubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Hans Nawiasky menjelaskan bahwa dalam
suatu negara yang merupakan kesatuan tatanan hukum, terdapat suatu kaidah
tertinggi, yang kedudukannya lebih tinggi daripada Undang-Undang Dasar. Kaidah
tertinggi dalam tatanan kesatuan hukum dalam negara disebut
staatsfundamentalnorm, yang untuk Indonesia berupa Pancasila (Riyanto dalam
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, 2013: 93-94).
Dalam pandangan yang lain, pengembangan teori dasar negara dapat diambil dari
pidato Mr. Soepomo. Dalam penjelasannya, kata “cita negara” merupakan
terjemahan dari kata “Staatsidee” yang terdapat dalam kepustakaan Jerman dan
Belanda. Kata asing itu menjadi terkenal setelah beliau menyampaikan pidatonya dalam
rapat pleno Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada
31 Mei 1945. Sebagai catatan, Soepomo menerjemahkan “Staatsidee” dengan “dasar
pengertian negara” atau “aliran pikiran negara”. Memang, dalam bahasa asing
sendiri kata itu tidak mudah memperoleh uraian pengertiannya. J. Oppenheim
(1849-1924), ahli hukum tata negara dan hukum administrasi negara di Groningen
Belanda, mengemukakan dalam pidato pengukuhannya yang kedua (1893) sebagai guru
besar mengemukakan bahwa “staatsidee” dapat dilukiskan sebagai “hakikat yang paling
dalam dari negara” (de staats diapse wezen), sebagai “kekuatan yang membentuk
negara-negara (de staten vermonde kracht) (Attamimi dalam Soeprapto, Bahar dan
Arianto, 1995: 121).
Dalam karyanya yang berjudul Nomoi
(The Law), Plato (Yusuf, 2009) berpendapat bahwa “suatu negara sebaiknya
berdasarkan atas hukum dalam segala hal”. Senada dengan Plato, Aristoteles
memberikan pandangannya, bahwa “suatu negara yang baik adalah negara yang
diperintahkan oleh konstitusi dan kedaulatan hukum”. Sebagai suatu ketentuan
peraturan yang mengikat, norma hukum memiliki sifat yang berjenjang atau bertingkat.
Artinya, norma hukum akan berdasarkan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan
bersumber lagi pada norma hukum yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai pada norma dasar/norma yang tertinggi dalam suatu negara yang disebut
dengan grundnorm.
Dengan demikian, dasar negara merupakan
suatu norma dasar dalam penyelenggaraan bernegara yang menjadi sumber dari
segala sumber hukum sekaligus sebagai cita hukum (rechtsidee), baik tertulis
maupun tidak tertulis dalam suatu negara. Cita hukum ini akan mengarahkan hukum
pada cita-cita bersama dari masyarakatnya. Cita-cita ini mencerminkan
kesamaankesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat (Yusuf, 2009). Terdapat
ilustrasi yang dapat mendeskripsikan tata urutan perundanganundangan di Indonesia.
Prinsip bahwa norma hukum itu
bertingkat dan berjenjang, termanifestasikan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang tercermin pada pasal
7 yang menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, yaitu sebagai
berikut:
a.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.
Peraturan
Pemerintah;
e.
Peraturan
Presiden;
f.
Peraturan
Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
B. Menggali
Sumber Yuridis, Historis, Sosiologis, dan Politis tentang Pancasila sebagai
Dasar Negara
Dalam rangka menggali pemahaman
Pancasila sebagai dasar negara, Anda akan dihadapkan pada berbagai sumber keterangan.
Sumber-sumber tersebut meliputi sumber historis, sosiologis, dan politis.
Berikut merupakan rincian dari sumber-sumber tersebut.
1.
Sumber
Yuridis Pancasila sebagai Dasar Negara
Secara yuridis ketatanegaraan,
Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia sebagaimana terdapat pada
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang
kelahirannya ditempa dalam proses kebangsaan Indonesia. Melalui Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai payung hukum, Pancasila
perlu diaktualisasikan agar dalam praktik berdemokrasinya tidak kehilangan arah
dan dapat meredam konflik yang tidak produktif (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi
MPR periode 2009--2014, 2013: 89).
Peneguhan Pancasila sebagai dasar negara
sebagaimana terdapat pada pembukaan, juga dimuat dalam Ketetapan MPR Nomor
XVIII/MPR/1998, tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan ketetapan
tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Meskipun status ketetapan MPR
tersebut saat ini sudah masuk dalam kategoriketetapan MPR yang tidak perlu
dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final),
telah dicabut maupun telah selesai dilaksanakan (Pimpinan MPR dan Tim Kerja
Sosialisasi MPR periode 2009- 2014, 2013: 90).
Selain itu, juga ditegaskan dalam Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan bahwa Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum negara, yaitu sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, bahwa Pancasila ditempatkan sebagai
dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara
sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila (Pimpinan MPR
dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014, 2013: 90-91).
2.
Sumber
Historis Pancasila sebagai Dasar Negara
Dalam sidang yang diselenggarakan
untuk mempersiapkan Indonesia merdeka, Radjiman meminta kepada anggotanya untuk
menentukan dasar negara. Sebelumnya, Muhammad Yamin dan Soepomo mengungkapkan pandangannya
mengenai dasar negara. Kemudian dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyebut
dasar negara dengan menggunakan bahasa Belanda, Philosophische grondslag bagi
Indonesia merdeka. Philosophische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran
yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan
gedung Indonesia merdeka. Soekarno juga menyebut dasar negara dengan istilah
‘Weltanschauung’ atau pandangan dunia (Bahar, Kusuma, dan Hudawaty, 1995: 63,
69, 81; dan Kusuma, 2004: 117, 121, 128, 129). Dapat diumpamakan, Pancasila merupakan
dasar atau landasan tempat gedung Republik Indonesia itu didirikan (Soepardo
dkk, 1962: 47).
Pancasila sebagai dasar negara sering
juga disebut sebagai Philosophische Grondslag dari negara, ideologi negara,
staatsidee. Dalam hal tersebut, Pancasila digunakan sebagai dasar mengatur
pemerintah negara. Atau dengan kata lain, Pancasila digunakan sebagai dasar
untuk mengatur penyelenggaraan negara (Darmodiharjo, 1991: 19).
Dengan demikian, jelas kedudukan Pancasila
itu sebagai dasar negara, Pancasila sebagai dasar negara dibentuk setelah
menyerap berbagai pandangan yang berkembang secara demokratis dari para anggota
BPUPKI dan PPKI sebagai representasi bangsa Indonesia (Pimpinan MPR dan Tim
Kerja Sosialisasi MPR periode 2009--2014, 2013: 94). Pancasila dijadikan
sebagai dasar negara, yaitu sewaktu ditetapkannya Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 pada 8 Agustus 1945. Pada
mulanya, pembukaan direncanakan pada tanggal 22 Juni 1945, yang terkenal dengan
Jakarta-charter (Piagam Jakarta), tetapi Pancasila telah lebih dahulu diusulkan
sebagai dasar filsafat negara Indonesia merdeka yang akan didirikan, yaitu pada
1 Juni 1945, dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (Notonagoro, 1994: 24). Terkait dengan hal tersebut, Mahfud MD
(2009:14) menyatakan bahwa berdasarkan penjelajahan historis diketahui bahwa Pancasila
yang berlaku sekarang merupakan hasil karya bersama dari berbagai aliran
politik yang ada di BPUPKI, yang kemudian disempurnakan dan disahkan oleh PPKI
pada saat negara didirikan. Lebih lanjut, Mahfud MD menyatakan bahwa ia bukan
hasil karya Moh. Yamin ataupun Soekarno saja, melainkan hasil karya bersama sehingga
tampil dalam bentuk, isi, dan filosofinya yang utuh seperti sekarang.
3.
Sumber
Sosiologis Pancasila sebagai Dasar Negara
Secara ringkas, Latif (Pimpinan MPR
dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009--2014, 2013) menguraikan pokok-pokok
moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila sebagai berikut.
Pertama, nilai-nilai ketuhanan (religiusitas)
sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertical transcendental)
dianggap penting sebagai fundamental etika kehidupan bernegara. Negara menurut
Pancasila diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama; sementara
agama diharapkan dapat memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan
etika sosial. Sebagai negara yang dihuni oleh penduduk dengan multiagama dan
multikeyakinan, negara Indonesia diharapkan dapat mengambil jarak yang sama,
melindungi terhadap semua agama dan keyakinan serta dapat mengembangkan
politiknya yang dipandu oleh nilai-nilai agama.
Kedua, nilai-nilai kemanusiaan universal
yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial (bersifat
horizontal) dianggap penting sebagai fundamental etika-politik kehidupan
bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas mengarah pada
persaudaraan dunia yang dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan
internalisasi.
Ketiga, nilai-nilai etis kemanusiaan harus
mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum
menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Indonesia memiliki prinsip dan visi
kebangsaan yang kuat, bukan saja dapat mempertemukan kemajemukan masyarakat
dalam kebaruan komunitas politik bersama, melainkan juga mampu memberi kemungkinan
bagi keragaman komunitas untuk tidak tercerabut dari akar tradisi dan
kesejarahan masing-masing. Dalam khazanah Indonesia, hal tersebut menyerupai
perspektif “etnosimbolis” yang memadukan antara perspektif “modernis” yang
menekankan unsur-unsur kebaruan dalam kebangsaan dengan perspektif
“primordialis” dan “perenialis” yang melihat unsur lama dalam kebangsaan.
Keempat, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan,
dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam prinsip
musyawarahmufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas atau kekuatan
minoritas elit politik dan pengusaha, tetapi dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan
yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga
tanpa pandang bulu.
Kelima, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan,
nilai dan cita kebangsaan serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh
artinya sejauh dalam mewujudkan keadilan sosial. Dalam visi keadilan sosial
menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara peran manusia
sebagai makhluk individu dan peran manusia sebagai makhluk sosial, juga antara pemenuhan
hak sipil, politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. Pandangan tersebut
berlandaskan pada pemikiran Bierens de Haan (Soeprapto, Bahar dan Arianto,
1995: 124) yang menyatakan bahwa keadilan sosial setidak-tidaknya memberikan
pengaruh pada usaha menemukan cita negara bagi bangsa Indonesia yang akan membentuk
negara dengan struktur sosial asli Indonesia. Namun, struktur sosial modern
mengikuti perkembangan dan tuntunan zaman sehingga dapatlah dimengerti apabila
para penyusun Undang-Undang Dasar 1945 berpendapat bahwa cita negara Indonesia
(de Indonesische Staatsidee) haruslah berasal dan diambil dari cita paguyuban masyarakat
Indonesia sendiri.
4.
Sumber
Politis Pancasila sebagai Dasar Negara
Mungkin Anda pernah mengkaji ketentuan
dalam Pasal 1 ayat (2) dan di dalam Pasal 36A jo. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, terkandung
makna bahwa Pancasila menjelma menjadi asas dalam sistem demokrasi
konstitusional. Konsekuensinya, Pancasila menjadi landasan etik dalam kehidupan
politik bangsa Indonesia. Selain itu, bagi warga negara yang berkiprah dalam suprastruktur
politik (sektor pemerintah), yaitu lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga
pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, Pancasilamerupakan norma hukum
dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan publik yang menyangkut
hajat hidup orang banyak. Di sisi lain, bagi setiap warga negara yang berkiprah
dalam infrastruktur politik (sektor masyarakat), seperti organisasi
kemasyarakatan, partai politik, dan media massa, maka Pancasila menjadi kaidah
penuntun dalam setiap aktivitas sosial politiknya. Dengan demikian, sektor
masyarakat akan berfungsi memberikan masukan yang baik kepada sektor pemerintah
dalam sistem politik. Pada gilirannya, sektor pemerintah akan menghasilkan output
politik berupa kebijakan yang memihak kepentingan rakyat dan diimplementasikan
secara bertanggung jawab di bawah kontrol infrastruktur politik. Dengan
demikian, diharapkan akan terwujud clean government dan good governance demi
terwujudnya masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan masyarakat yang makmur
dalam keadilan (meminjam istilah mantan Wapres Umar Wirahadikusumah).
Daftar
Pustaka
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan. Pendidikan Pancasila untuk
Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemristekdikti. 2016.
Komentar
Posting Komentar