Refleksi : Pendidikan Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Ø
Filsafat
identik dengan berpikir, bijaksana dan pusing.
Ø
Filsafat
adalah menciptakan kebijaksanaan.
Ø
Ciri-ciri
berpikir kefilsafatan meliputi (Noor Bakry, 1994 : 13-15) :
a.
Bersifat
koheren
b.
Bersifat
menyeluruh
c.
Bersifat
mendasar
d.
Bersifat
spekulatif
Ø
Telah
disebut bijaksana apabila orang itu telah mengambil keputusan. Keputusan yang
diambil memberi manfaat banyak orang dan keputusan yang diambil tidak perlu
diperdebatkan karena sudah mencapai keadilan. Keputusan tidak diambil secara
cepat atau langsung karena harus ada perenungan terlebih dahulu.
Ø
Filsafat
mencintai kebijaksanaan. Kebijaksanaan dilalui dengan berpikir, membaca hingga
akhirnya mengambil keputusan.
Ø
Filsafat
itu banyak membaca. Hubungan filsafat dengan pusing karena kurang membaca.
Lalu, filsafat ada bukan di depan konkrit tetapi di belakang konkrit.
Ø
Sejarah Filsafat
Sejarah filsafat dilihat dari Zaman
Yunani Kuno, bahkan jauh sebelum itu. Pada sebelum Zaman Yunani Kuno,
masyarakat lebih percaya kepada dewa-dewi atau biasa disebut lebih percaya pada
mitos/mitologi. Contohnya seperti turun hujan, masyarakat percaya bahwa dewa
menangis. Selain itu, jika ada pelangi, maka masyarakat percaya bahwa ada putri
turun dari kayangan.
Sehingga pemikiran filsafat muncul
dari seseorang bernama Tales. Tales adalah orang yang pertama kali memprediksi
terjadinya Gerhana Matahari. Pada saat itu ia ingin berperang di tengah lautan
dan ingin sampai di tempat tujuan sebelum gerhana matahari yang sudah
diprediksikan oleh Tales akan terjadi. Pada di saat peperangan, gerhana
matahari itu benar terjadi dan langit pun berubah menjadi warna hitam dan
gelap.
Dari kejadian ini, bisa disimpulkan
bahwa seseorang telah tidak terpengaruh dengan mitos/mitologi, bahwa orang
telah berpikir filsafati. Dan Tales pun tidak memprediksikan ada gerhana
matahari tanpa melakukan riset terlebih dahulu. Disini artinya, lagi-lagi,
orang lebih berpikir filsafat dibanding percaya kepada mitos/mitologi.
Ø
Beberapa
faedah filsafat yang perlu diketahui dan
pahami adalah :
1.
Menjajagi
kemungkinan adanya pemecahan-pemecahan terhadap problem kehidupan manusia
2.
Filsafat
adalah suatu bagian dari keyakinan-keyakinan yang menjadi dasar perbuatan
manusia.
3.
Filsafat
adalah kemampuan untuk memperluas bidang-bidang kesadaran manusia agar dapat
menjadi lebih hidup, lebih dapat membedakan, lebih kritis, dan lebih pandai.
Ø
Filsafat Pancasila :
1.
Pancasila
adalah susunan yang sudah hierarki dan dirumuskan dari hasil pemikiran.
2.
Indonesia
merupakan suatu sistem, banyak komponen, yang bekerja secara masing-masing.
Sehingga kejadian sesuai fungsinya. Indonesia itu Pancasila, jika dihilangkan
salah satu sila maka bukan Indonesia namanya.
A. Konsep
dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Noor Bakry menjelaskan bahwa Pancasila
sebagai sistem filsafat merupakan hasil perenungan yang mendalam dari para tokoh
kenegaraan Indonesia. Hasil perenungan itu semula dimaksudkan untuk merumuskan
dasar negara yang akan merdeka. Selain itu, hasil perenungan tersebut merupakan
suatu sistem filsafat karena telah memenuhi ciri-ciri berpikir kefilsafatan.
Beberapa ciri berpikir kefilsafatan meliputi: (1). sistem filsafat harus
bersifat koheren, artinya berhubungan satu sama lain secara runtut, tidak
mengandung pernyataan yang saling bertentangan di dalamnya. Pancasila sebagai
sistem filsafat, bagian-bagiannya tidak saling bertentangan, meskipun berbeda, bahkan
saling melengkapi, dan tiap bagian mempunyai fungsi dan kedudukan tersendiri;
(2). sistem filsafat harus bersifat menyeluruh, artinya mencakup segala hal dan
gejala yang terdapat dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai filsafat hidup
bangsa merupakan suatu pola yang dapat mewadahi semua kehidupan dan dinamika
masyarakat di Indonesia; (3). sistem filsafat harus bersifat mendasar, artinya
suatu bentuk perenungan mendalam yang sampai ke inti mutlak permasalahan sehingga
menemukan aspek yang sangat fundamental. Pancasila sebagai sistem filsafat
dirumuskan berdasarkan inti mutlak tata kehidupan manusia menghadapi diri
sendiri, sesama manusia, dan Tuhan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara;
(4). sistem filsafat bersifat spekulatif, artinya buah pikir hasil perenungan
sebagai praanggapan yang menjadi titik awal yang menjadi pola dasar berdasarkan
penalaran logis, serta pangkal tolak pemikiran tentang sesuatu. Pancasila
sebagai dasar negara pada permulaannya merupakan buah pikir dari tokoh-tokoh kenegaraan
sebagai suatu pola dasar yang kemudian dibuktikan kebenarannya melalui suatu
diskusi dan dialog panjang dalam sidang BPUPKI hingga pengesahan PPKI (Bakry,
1994: 13--15).
B. Menggali
Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1. Sumber
Historis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pada 12 Agustus 1928, Soekarno pernah
menulis di Suluh Indonesia yang menyebutkan bahwa nasionalisme adalah
nasionalisme yang membuat manusia menjadi perkakasnya Tuhan dan membuat manusia
hidup dalam roh (Yudi Latif, 2011: 68). Pembahasan sila-sila Pancasila sebagai
sistem filsafat dapat ditelusuri dalam sejarah masyarakat Indonesia sebagai
berikut. (Lihat Negara Paripurna, Yudi Latif).
a.
Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa
Sejak
zaman purbakala hingga pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, masyarakat
Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, yaitu sekitar
14 abad pengaruh Hindu dan Buddha, 7 abad pengaruh Islam, dan 4 abad pengaruh
Kristen. Tuhan telah menyejarah dalam ruang publik Nusantara. Hal ini dapat
dibuktikan dengan masih berlangsungnya sistem penyembahan dari berbagai
kepercayaan dalam agama-agama yang hidup di Indonesia. Pada semua sistem
religi-politik tradisional di muka bumi, termasuk di Indonesia, agama memiliki
peranan sentral dalam pendefinisian institusi-institusi sosial (Yudi-Latif,
2011: 57--59).
b. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Nilai-nilai
kemanusiaan dalam masyarakat Indonesia dilahirkan dari perpaduan pengalaman
bangsa Indonesia dalam menyejarah. Bangsa Indonesia sejak dahulu dikenal
sebagai bangsa maritim telah menjelajah keberbagai penjuru Nusantara, bahkan
dunia. Hasil pengembaraan itu membentuk karakter bangsa Indonesia yang kemudian
oleh Soekarno disebut dengan istilah Internasionalisme atau Perikemanusiaan.
Kemanjuran konsepsi internasionalisme yang berwawasan kemanusiaan yang adil dan
beradab menemukan ruang pembuktiannya segera setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Berdasarkan rekam jejak perjalanan bangsa Indonesia, tampak jelas
bahwa sila kemanusiaan yang adil dan beradab memiliki akar yang kuatdalam
historisitas kebangsaan Indonesia. Kemerdekan Indonesia menghadirkan suatu
bangsa yang memiliki wawasan global dengan kearifan lokal, memiliki komitmen
pada penertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial
serta pada pemuliaan hak-hak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsan
Indonesia (Yudi-Latif, 2011: 201).
c.
Sila
Persatuan Indonesia.
Kebangsaan
Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman serta kebaruan dan
kesilaman. Indonesia adalah bangsa majemuk paripurna yang menakjubkan karena
kemajemukan sosial, kultural, dan teritorial dapat menyatu dalam suatu
komunitas politik kebangsaan Indonesia. Indonesia adalah sebuah bangsa besar
yang mewadahi warisan peradaban Nusantara dan kerajaan-kerajaan bahari terbesar
di muka bumi. Jika di tanah dan air yang kurang lebih sama, nenek moyang bangsa
Indonesia pernah menorehkan tinta keemasannya, maka tidak ada alasan bagi
manusia baru Indonesia untuk tidak dapat mengukir kegemilangan (Yudi-Latif,
2011:377).
d.
Sila
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan.
Demokrasi
sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat memang merupakan
fenomena baru di Indonesia, yang muncul sebagai ikutan formasi negara republik
Indonesia merdeka. Sejarah menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan pra-Indonesia
adalah kerajaan feodal yang dikuasaioleh raja-raja autokrat. Meskipun demikian,
nilai-nilai demokrasi dalam taraf tertentu telah berkembang dalam budaya
Nusantara, dan dipraktikkansetidaknya dalam unit politik kecil, seperti desa di
Jawa, nagari di Sumatera Barat, banjar di Bali, dan lain sebagainya. Tan Malaka
mengatakan bahwa paham kedaulatan rakyat sebenarnya telah tumbuh di alam
kebudayaanMinangkabau, kekuasaan raja dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan
dankepatutan. Kemudian, Hatta menambahkan ada dua anasir tradisi demokrasi di
Nusantara, yaitu; hak untuk mengadakan protes terhadap peraturan raja yang
tidak adil dan hak untuk menyingkir dari kekuasaan raja yang tidak disenangi
(Yudi-Latif, 2011: 387--388).
e.
Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Masyarakat
adil dan makmur adalah impian kebahagian yang telah berkobar ratusan tahun lamanya
dalam dada keyakinan bangsa Indonesia. Impian kebahagian itu terpahat dalam
ungkapan “Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Demi impian
masyarakat yang adil dan makmur itu, para pejuang bangsa telah mengorbankan
dirinya untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Sejarah mencatat bahwa bangsa
Indonesia dahulunya adalah bangsa yang hidup dalam keadilan dan kemakmuran,
keadaan ini kemudiandirampas oleh kolonialisme (Yudi-Latif, 2011: 493--494).
2. Sumber
Sosiologis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Sumber sosiologis Pancasila sebagai
sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok. Kelompok pertama,
masyarakat awam yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat yang sudah
dikenal masyarakat Indonesia dalam bentuk pandangan hidup, Way of life yang
terdapat dalam agama, adat istiadat, dan budaya berbagai suku bangsa di
Indonesia. Kelompok kedua, masyarakat ilmiah-akademis yang memahami Pancasila
sebagai sistem filsafat dengan teori-teori yang bersifat akademis.
Kelompok pertama memahami sumber sosiologis
Pancasila sebagai sistem filsafat dalam pandangan hidup atau kearifan lokal
yang memperlihatkan unsur-unsur filosofis Pancasila itu masih berbentuk pedoman
hidup yang bersifat praktis dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks
agama, masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius karena perkembangan
kepercayaan yang ada di masyarakat sejak animisme, dinamisme, politeistis,
hingga monoteis.
Pancasila sebagai sistem filsafat, menurut
Notonagoro merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Artinya, sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan utuh yang yang saling
terkait dan saling berhubungan secara koheren. Notonagoro menggambarkan
kesatuan dan hubungan sila-sila Pancasila itu dalam bentuk kesatuan dan hubungan
hierarkis piramidal dan kesatuan hubungan yang saling mengisi atau saling mengkualifikasi.
Kesatuan dan hubungan sila-sila
Pancasila yang hierarkis pyramidal digambarkan Notonagoro (1980: 110) dengan
bentuk piramida yang bertingkat lima, sila Ketuhanan Yang Maha Esa berada di
puncak piramida dan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai
alas piramida. Rumusan hierarkis piramidal itu dapat digambar sebagai berikut:
a.
Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai dan meliputi sila Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.
b.
Sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, menjiwai dan meliputi sila Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
c.
Sila
Persatuan Indonesia dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menjiwai dan meliputi sila Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
d.
Sila
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dijiwai dan diliputi oleh sila Ketuhanan YangMaha
Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, menjiwai dan
meliputi, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
e.
Sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dijiwai dan diliputi oleh sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan (Kaelan, 2003: 60- 61).
Kesatuan dan hubungan sila-sila
Pancasila yang saling mengkualifikasi atau mengisi dapat digambar sebagai
berikut:
a.
Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah KETUHANAN yang ber-Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, ber-Persatuan Indonesia, ber- Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan ber-Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.
b.
Sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah KEMANUSIAAN yang ber- Ketuhanan Yang
Maha Esa, ber-Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan ber-Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.
c.
Sila
Persatuan Indonesia adalah PERSATUAN yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, ber-Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan ber-Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.
d.
Sila
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan adalah KERAKYATAN yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
e.
Sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah KEADILAN yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan (Kaelan, 2003: 61).
3. Sumber
Politis Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Pada awalnya, Pancasila merupakan konsensus
politik yang kemudian berkembang menjadi sistem filsafat. Sumber politis
Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok.
Kelompok pertama, meliputi wacana politis tentang Pancasila sebagai sistem
filsafat pada sidang BPUPKI, sidang PPKI, dan kuliah umum Soekarno antara tahun
1958 dan 1959, tentang pembahasan sila-sila Pancasila secara filosofis.
Kelompokkedua, mencakup berbagai argumen politis tentang Pancasila sebagai
sistem filsafat yang disuarakan kembali di era reformasi dalam pidato politik
Habibie 1 Juni 2011.
Wacana politis tentang Pancasila
sebagai sistem filsafat mengemuka ketika Soekarno melontarkan konsep
Philosofische Grondslag, dasar filsafat negara. Artinya, kedudukan Pancasila
diletakkan sebagai dasar kerohanian bagi penyelenggaran kehidupan bernegara di
Indonesia. Soekarno dalam kuliah umum di Istana Negara pada 22 Mei 1958
menegaskan tentang kedudukan Pancasila sebagai Weltanschauung dapat mempersatukan
bangsa Indonesia dan menyelamatkan negara Indonesia dari disintegrasi bangsa
(Soekarno, 2001: 65). Pada kuliah umum di Istana Negara pada 26 Juni 1958,
Soekarno membahas sila-sila Pancasila sebagai berikut. Sila I, pada garis
besarnya manusia Indonesia itu percaya kepada Tuhan, sebagaimana yang dikenal
oleh penganut agama masing-masing. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan konsep
yang dapat diterima semua golongan agama di Indonesia sehingga apabila elemen
Ketuhanan ini dibuang, berarti telah membuang sesuatu yang mempersatukan batin
segenap rakyat sebagai bangsa Indonesia. Kalau sila Ketuhanan Yang Maha Esa
tidak dimasukkan, maka akan kehilangan salah satu leitstar yang utama dalam
kehidupan bangsa. Dengan demikian, elemen Ketuhanan ini perlu dimasukkan ke
dalam sila-sila Pancasila, karena menjadi bintang penuntun atau pedoman dalam
bertindak (Soekarno, 2001: 93).
Selanjutnya, Soekarno menjelaskan
tentang Sila II yang merupakan upaya untuk mencegah timbulnya semangat
nasionalisme yang berlebihan sehingga terjebak ke dalam chauvinisme atau
rasialisme. Soekarno menegaskan bahwa nasionalisme ala Hitler merupakan
nasionalisme yang tidak berperikemanusiaan karena didasarkan pada sikap
chauvinistis (Soekarno, 2001: 142).
Soekarno memberikan kuliah umum
tentang Sila III pada Juli 1958 di Istana Negara. Soekarno bertitik tolak dari
berbagai pengertian tentang bangsa yang diambilnya dari berbagai pemikiran, seperti
teori Ernest Renan yang mengatakan bahwa bangsa itu sekumpulan manusia yang
mempunyai keinginan bersatu hidup bersama (Le desire d’etre ensemble). Soekarno
juga menyitir pendapat Otto Bauer yang mengatakan bahwa bangsa adalah persatuan,
persamaan watak, yang dilahirkan karena persamaan nasib. Berdasarkan beberapa
pemikiran tersebut, Soekarno menyimpulkan bahwa bangsa itu hidup dalam suatu
kesatuan yang kuat dalam sebuah negara dengan tujuan untuk mempersatukan
(Soekarno, 2001: 114).
Sila IV, Soekarno memberikan kuliah
umum tentang sila kerakyatan pada 3 September 1958 di Istana Negara. Soekarno
mengatakan bahwa demokrasi yang harus dijalankan adalah demokrasi Indonesia,
yang membawakeperibadian Indonesia sendiri. Demokrasi yang dimaksud bukanlah
sekadar alat teknis, melainkan suatu alam jiwa pemikiran dan perasaan bangsa Indonesia
(Soekarno, 2001: 165).
Dalam kuliah umum seminar Pancasila di
Yogyakarta 21 Februari 1959, Soekarno menguraikan tetang arti sila V sebagai
berikut: Keadilan sosial bagi bangsa Indonesia merupakan suatu keharusan karena
hal itu merupakanamanat dari para leluhur bangsa Indonesia yang menderita pada
masa penjajahan, dan para pejuang yang telah gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan
(Soekarno, 2011: 191).
Kelompok kedua, diwakili Habibie dalam
pidato 1 Juni 2011 yang menyuarakan kembali pentingnya Pancasila bagi kehidupan
bangsa Indonesiasetelah dilupakan dalam rentang waktu yang cukup panjang
sekitar satu dasawarsa pada eforia politik di awal reformasi.
Sumber politis Pancasila sebagai
sistem filsafat berlaku juga atas kesepakatan penggunaan simbol dalam kehidupan
bernegara. Garuda Pancasila merupakan salah satu simbol dalam kehidupan
bernegara. Dalam pasal 35 Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi sebagai berikut.
”Bendera Negara Indonesia ialah sang merah putih”. Pasal 36, ”Bahasa Negara
ialah Bahasa Indonesia”. Pasal 36A, ”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila
dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika”. Pasal 36B, ”Lagu kebangsaan Indonesia
ialah Indonesia Raya”. Bendera merah putih, Bahasa Indonesia, Garuda Pancasila,
dan lagu Indonesia Raya, semuanya merupakan simbol dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia.
Daftar
Pustaka
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan. Pendidikan Pancasila untuk
Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemristekdikti. 2016.
Keren dan sangat membantu.
BalasHapus